Pernahkan kalian berpikir bagaimanakah alam semesta
terbentuk? Sebelum tahun 1920-an, sebagian besar ilmuwan beranggapan bahwa alam
semesta terbentuk dengan sendirinya. Artinya, alam semesta sudah ada sejak
waktu yang tak terbatas. Mereka percaya bahwa alam semesta selalu ada dan tidak
diciptakan oleh siapa pun. Pendapat ini berasal dari penganut paham materialisme. Mereka berpendapat bahwa materi ada di atas segalanya. Bahkan,
mereka mengingkari keterlibatan Tuhan di alam semesta. Namun, anggapan itu
mulai berubah ketika memasuki tahun 1920-an. Dengan bukti-bukti dari hasil
pengamatan dan penelitian, pendapat paham materialisme mulai tergoyahkan.
Edwin Hubble adalah ilmuwan Amerika Serikat yang meruntuhkan paham
materilisme. Dia menemukan bukti bahwa alam semesta terus mengembang. Edwin
Hubble telah lama melakukan pengamatan angkasa menggunakan teleskop di Observatorium
Mount Wilson California. Pada tahun 1929, Hubble menemukan kejadian yang
mencengangkan. Ia melihat cahaya bintang-bintang terus menjauhi Bumi. Bahkan,
bintang-bintang tersebut juga saling menjauh satu sama lain. Ini membuktikan
bahwa alam semesta terus mengembang.
Bukti yang didapatkan Edwin Hubble telah menguatkan hasil
perhitungan yang dilakukan Alexandra Friedman pada tahun 1922. Friedman adalah seorang ahli fisika Rusia. Hasil perhitungannya
menunjukkan bahwa alam semesta tidaklah tetap atau statis. Arti dari
perhitungan Friedman disadari oleh George Lemaitre, seorang astronom Belgia.
Lemaitre menyatakan bahwa alam semesta mempunyai permulaan dan mengembang
sebagai akibat dari sesuatu yang memicunya.
Penemuan Edwin Hubble menggiring kepada model alam semesta
yang berbeda dari sebelumnya. Menurut Hubble, alam terus mengembang sejalan
dengan waktu. Jika dirunut mundur ke masa lalu, berarti alam semesta terus
mengerut semakin kecil dan bertemu pada satu titik. Artinya, pada masa sebelum
alam semesta seperti sekarang, ia hanya berupa titik yang mempunyai “volume
nol” dengan gravitasi sangat besar. Keberadaan alam semesta berasal dari
ledakan titik bervolume nol tersebut. Ledakan ini kemudian dikenal dengan
sebutan Dentumam Besar atau Big Bang. Teori terciptanya alam
semesta seperti ini disebut Teori Big Bang atau Teori Dentuman Besar.
Gambar Model alam semesta yang terus berkembang
Pada tahun 1948, George Gamov menghasilkan gagasan
baru dalam dentuman besar. Ia mengembangkan perhitungan Lemaitre lebih jauh.
Menurut Gamov, jika alam semesta terbentuk dalam sebuah dentuman besar, maka
harus ada sejumlah radiasi yang tertinggal. Radiasi tersebut harus bisa
terdeteksi dan sama di seluruh alam semesta.
Baru pada tahun 1965, dugaan George Gamov dapat dibuktikan.
Ialah Arno Penzias dan Robert Wilson yang menemukan sebentuk radiasi yang tidak
teramati. Radiasi tersebut seragam di seluruh alam semesta. Radiasi ini tidak
mempunyai sumber tertentu tetapi tersebar merata di alam semesta. Radiasi
tersebut diberi nama Radiasi Latarbelakang Kosmik atau Cosmic
Microwave Background Radiation. Dengan penemuan ini, Penzias dan Wilson
dianugerahi hadiah Nobel. Keberadaan radiasi Latar Belakang Kosmik semakin
memperkuat Teori Dentuman Besar.
Penemuan Penzias dan Wilson semakin diperkuat dengan
pengamatan angkasa oleh NASA pada tahun 1989. Pengamatan tersebut dilakukan
melalui satelit COBE (Cosmic Background Explorer). Dengan COBE,
keberadaan radiasi sisa dentuman besar dapat terdeteksi lebih akurat. Para
ilmuwan pun akhirnya mengakui bahwa COBE telah berhasil menangkap sisa-sisa
dari Dentuman Besar.
Gambar 5. Satelit COBE
Bukti-bukti yang mendukung Teori Dentuman Besar
mengisyaratkan bahwa alam semesta ada karena diciptakan dari ketiadaan.
Bukti-bukti itu pulalah yang membuat teori Big Bang diterima oleh masyarakat
pada umumnya, dan ilmuwan pada khususnya. Di sinilah letak kekuasaan Tuhan yang
telah menciptakan alam semesta yang begitu luas. Seorang ilmuwan, Hugh Ross,
berkata: “Bahwa Pencipta itu luar biasa, bekerja di luar batasan-batasan
dimensi alam semesta. Ini berarti bahwa Tuhan bukan alam semesta itu sendiri,
dan Tuhan juga tidak berada di alam semesta” (Yahya, Harun: 2007).
Dari peristiwa Dentuman Besar, muncul suatu pertanyaan di
benak para ilmuwan. Jika Dentuman Besar berupa ledakan yang dahsyat, seharusnya
materi akan tersebar ke segala penjuru secara acak. Namun kenyataannya tidak
demikian. Materi hasil Dentuman Besar tersusun sedemikian rupa hingga membentuk
galaksi, kluster, bintang, dan planet. Artinya, materi hasil Dentuman Besar
membentuk susunan yang begitu rapi dan teratur. Mengapa terjadi demikian?
Ketika
Dentuman Besar terjadi, materi bergerak dengan kecepatan luar biasa ke segala
arah. Namun, pada saat itu pula terdapat gaya tarik yang semula mengumpulkan
seluruh alam semesta pada satu titik. Dua kekuatan besar bekerja secara
berlawanan saat Dentuman Besar terjadi. Kekuatan pertama melontarkan materi ke
segala arah, sedangkan kekuatan kedua menarik semua materi untuk menyatu.
Keseimbangan dari dua kekuatan inilah yang mempertahankan bentuk alam semesta.
Jika kekuatan ledakan lebih besar dari gaya tarik, maka alam semesta akan
berpencar ke segala arah. Sebaliknya, jika gaya tarik lebih besar dari gaya
ledakan, maka alam semesta akan hancur bertabrakan. Ini merupakan suatu keadaan
keseimbangan yang luar biasa.
Pelbagai pendapat telah dilontarkan oleh kalangan ilmuwan
mengenai penciptaan alam semesta dari ketiadaan. Dennis Sciama yang selama
bertahun-tahun mempertahankan Teori Alam Semesta Tetap atau Steady State juga telah membenarkan
Teori Big Bang. Seorang Profesor dari Universitas California, George Abell,
juga telah mengakui bahwa tidak ada pilihan lain selain menerima Teori Big
Bang. Kemudian, Sir Fred Hoyle, yang mengemukakan Teori Steady State, akhirnya menerima Teori Big Bang. Ia mengungkapkan
ini dengan jelas bahwa Big Bang secara misterius telah menghasilkan dampak yang
berlawanan dengan ledakan pada umumnya. Alih-alih menghancurkan materi
berkeping-keping, Big Bang justru membuat materi saling bergabung dan membentuk
galaksi-galaksi. Tatanan yang menakjubkan ini muncul akibat campur tangan
pancipta yang berperan dalam setiap ledakan.
Seorang fisikawan, Profesor Stephen Hawking, dalam bukunya ‘A Brief History of Time’ menyatakan
bahwa alam semesta dibangun berdasarkan perhitungan dan keseimbangan yang lebih
akurat daripada yang kita bayangkan. Ia juga menambahkan, jika kecepatan
pengembangan dalam satu detik setelah Big Bang berkurang -walau hanya sebesar
angka satu per seratus ribu juta-, maka alam semesta akan runtuh. Artinya, alam
semesta tidak akan terbentuk seperti sekarang.
Berdasarkan
bukti-bukti dan pendapat para ilmuwan, tentunya kita semakin yakin bahwa alam
semesta ini diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka, sudah menjadi
kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur atas karunia-Nya.